Minggu, 23 November 2014

Pernikahan Beda Agama Perspektif Hukum Positif di indonesia

Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Persoalan nikah beda agama dillaksanakan berdasarkan  melalui peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken yang lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor 158. Pasal 1 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa “Perkawinan di Indonesia antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan perkawinan campuran”.Ayat 2 dari pasal tersebut menjelaskan bahwa “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”. Dalam melaksanakan kehidupan bagi suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan tersebut ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu yaitu “ Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri prihal hukum perdata dan hukum publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang berlaku bagi suami”.
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, solusi yang  diberikan oleh peraturan tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam undang-undang yang disebutkan belakangan ini solusi yang diberikan hanyalah bagian kecil dari perbedaan calon suami isteri yaitu bila berbeda kebangsaan saja atau kewarganegaraan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUP yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 58 UUP).
Jadi, jalan keluar yang diberikan atas perbedaan agama bagi calon suami isteri itu berdasarkan Pasal 57 UUP tidak ada, karena ketentuan pasal ini hanya mengatasi perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini dapat dimengerti karena keabsahan dari suatu perkawinan (termasuk perkawinan campuran) akan ditentukan berdasakan Pasal 2 ayat 1 UUP tersebut yang menyatakan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bahasan pemahaman pasal itu telah penulis samapaikan di muka.
Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UUP dapat mengatasi kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama. Bunyi Pasal tersebut adalah “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini “.
Dengan menekankan unsur syarat “menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan”, dapat diketahui bahwa ada dua kemungkinan, yaitupertama: bila negara tempat dilangsungkan perkawinan itu membenarkan perkawinan beda agama, itu berarti WNI tadi bisa melangsungkan perkawinan beda agama di sana,kedua: bila sebaliknya sama peraturannya dengan Indonesia, yakni melarang adanya perkawinan beda agama, maka WNI tadi tidak bisa menyelenggarakan perkawinan beda agama di negara itu. Umumnya negara yang membolehkan perkawinan beda agama itu adalah negara barat.
Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di mana pun warga indonesia menikah, keabsahanyna tetap bergantung pada peraturan agama orang tersebut.
Dalam hal memaknai UU no 1 tahun 1974 berkaitan dengan pernikahan beda agama ada beberapa pendapat:
Pertama, UU no 1 tahun 1974 telah mengatur pernikahan beda agama di mana keabsahan atau tidaknya perkawinan tersebut bergantung pada aturan-aturan yang berlaku menurut agama yang dianut,  dengan bunyi Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Keduabagi sebagian orang masih mengaggap bahwa nikah beda agama di Indonesia legal keabsahannya, ini berdasar pada GHR S.1898 Nomor 158. Pasal 2 yang berbunyi“Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”.
Ketiga, Belum ada aturan main soal pernikahan beda agama, jadi UU no 1 tahun 1974 masih perlu perbaikan dan penyempurnaan kaitannya dengan pernikahan beda agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar