Sebelum diundangkannya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Persoalan nikah beda agama dillaksanakan
berdasarkan melalui peraturan perkawinan campuran (Regeling op de
Gemengde Huwelijken yang lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor
158. Pasal 1 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa “Perkawinan di
Indonesia antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan
satu sama lain, dinamakan perkawinan campuran”.Ayat 2 dari pasal tersebut
menjelaskan bahwa “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak
merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”. Dalam melaksanakan
kehidupan bagi suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan
tersebut ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu
yaitu “ Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri prihal hukum
perdata dan hukum publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang
berlaku bagi suami”.
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, solusi yang diberikan oleh peraturan
tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam
undang-undang yang disebutkan belakangan ini solusi yang diberikan hanyalah
bagian kecil dari perbedaan calon suami isteri yaitu bila berbeda kebangsaan
saja atau kewarganegaraan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUP yang berbunyi
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.Bagi orang-orang yang
berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 58 UUP).
Jadi, jalan keluar yang diberikan atas
perbedaan agama bagi calon suami isteri itu berdasarkan Pasal 57 UUP tidak ada,
karena ketentuan pasal ini hanya mengatasi perbedaan kewarganegaraan saja. Hal
ini dapat dimengerti karena keabsahan dari suatu perkawinan (termasuk
perkawinan campuran) akan ditentukan berdasakan Pasal 2 ayat 1 UUP tersebut
yang menyatakan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bahasan
pemahaman pasal itu telah penulis samapaikan di muka.
Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal
56 (1) UUP dapat mengatasi kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan
perkawinan beda agama. Bunyi Pasal tersebut adalah “Perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang
ini “.
Dengan menekankan unsur syarat “menurut hukum
yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan”, dapat diketahui
bahwa ada dua kemungkinan, yaitupertama: bila negara tempat
dilangsungkan perkawinan itu membenarkan perkawinan beda agama, itu berarti WNI
tadi bisa melangsungkan perkawinan beda agama di sana,kedua: bila
sebaliknya sama peraturannya dengan Indonesia, yakni melarang adanya perkawinan
beda agama, maka WNI tadi tidak bisa menyelenggarakan perkawinan beda agama di
negara itu. Umumnya negara yang membolehkan perkawinan beda agama itu adalah
negara barat.
Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di mana pun warga indonesia
menikah, keabsahanyna tetap bergantung pada peraturan agama orang tersebut.
Dalam hal memaknai UU no 1 tahun 1974
berkaitan dengan pernikahan beda agama ada beberapa pendapat:
Pertama, UU no 1 tahun
1974 telah mengatur pernikahan beda agama di mana keabsahan atau tidaknya
perkawinan tersebut bergantung pada aturan-aturan yang berlaku menurut agama
yang dianut, dengan bunyi Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan“Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Kedua, bagi sebagian orang masih mengaggap bahwa
nikah beda agama di Indonesia legal keabsahannya, ini berdasar pada GHR
S.1898 Nomor 158. Pasal 2 yang berbunyi“Perbedaan agama, kebangsaan atau
asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”.
Ketiga,
Belum ada aturan main soal pernikahan beda agama, jadi UU no 1
tahun 1974 masih perlu perbaikan dan penyempurnaan kaitannya
dengan pernikahan beda agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar